Ladiestory.id - Para ilmuwan telah menemukan populasi sel dalam darah yang dengan jelas menunjukkan apakah seseorang yang terinfeksi demam berdarah cenderung berkembang menjadi penyakit parah yang mengancam jiwa atau tidak.
Sekitar setengah dari populasi dunia berisiko terkena demam berdarah, dengan hampir 400 juta kasus per tahun. Lebih banyak yang akan berisiko karena pemanasan global memungkinkan penyebaran jenis nyamuk yang membawa virus.
Hingga saat ini, belum ada cara yang akurat untuk memprediksi pasien mana yang akan berkembang menjadi demam berdarah yang parah. Temuan baru ini menggunakan sel-sel kekebalan untuk menilai tingkat keparahan potensial, membuka jalan bagi manajemen pasien yang lebih baik, penghematan sistem kesehatan, dan pengembangan tes biomarker.
Diterbitkan dalam Journal of Biomedical Science, tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Profesor Diana Hansen di Monash Biomedicine Discovery Institute, termasuk WEHI di Melbourne, dan Dr Tedjo Sasmono di Eijkman Center di Jakarta, Indonesia menemukan bahwa selama infeksi virus dengue kedua (infeksi sekunder biasanya lebih parah), satu kelompok orang memiliki respons sel T yang mengurangi dampaknya.
“Jenis sel sistem kekebalan ini dipanggil untuk bertindak oleh apa yang disebut sistem kekebalan adaptif. Itu adalah respons yang sangat terarah, khusus untuk patogen, membantu Anda mengurangi rasa sakit,” kata Profesor Diana Hansen.
“Kelompok lain, yang tidak memiliki respons spesifik ini, justru memiliki respons sistem kekebalan bawaan, yang ditandai dengan serangan inflamasi yang kuat untuk mengendalikan virus. Orang-orang itu sakit parah, kemungkinan membutuhkan perawatan rumah sakit,” sambungnya.
Profesor Diana Hansen mengatakan mengidentifikasi tipe sel dan subtipenya tidaklah mudah.
"Ini seperti mencoba mengidentifikasi buah mana yang menyebabkan aroma dalam campuran salad buah. Apakah itu mangga atau nanas? Kami menggunakan teknik yang disebut sitometri massal, yang menandai jenis sel dengan logam tanah jarang, untuk mengidentifikasi jenis sel tertentu dalam sampel darah yang kompleks, sehingga kami dapat 'melepaskan' campuran tersebut.” ungkap Profesor Diana Hansen.
Fasilitas kesehatan di daerah rawan DBD sering kewalahan dengan pasien yang datang untuk observasi. Kasus rumah sakit demam berdarah non-fatal menelan biaya sekitar US$1.400.
Tim Profesor Hansen yakin bahwa hasilnya akan memungkinkan untuk mengembangkan tes biomarker, seperti Tes Antigen Cepat COVID, untuk demam berdarah.
“Ini akan memungkinkan dokter untuk melakukan triase pasien pada tahap awal, alih-alih merujuk semua yang didiagnosis menderita penyakit virus dengue ke rumah sakit,” katanya.
“Virus dengue adalah salah satu tantangan besar pengobatan tropis karena tidak ada vaksin yang sangat efektif dan tidak tersedia pengobatan untuk kasus yang parah. Mengurangi biaya perawatan kesehatan sangat penting bagi negara-negara Asia Tenggara yang merupakan 75 persen populasi yang terpapar virus dengue,” lanjutnya.
Pihaknya juga mengatakan bahwa mereka telah memulai studi klinis kedua di daerah endemik di Indonesia untuk memperoleh spesifitas lebih dalam untuk membuat profil sel-sel tententu yang memprediksi perkembangan menjadi demam berdarah parah, untuk selangkah lebih dekat dengan pengembangan tes untuk pasien pada awal demam.
Dr Sasmono berharap pekerjaan penting ini akan memperkuat kapasitas penelitian regional.
“Studi ini mempertemukan peneliti dan dokter dari Indonesia dan Australia,” kata Dr Sasmono.
“Kolaborasi ini harus dilanjutkan untuk semakin memperkuat kapasitas peneliti biomedis di kedua negara dan kawasan Asia-Pasifik,” pungkasnya.