Ladiestory.id - Apakah menjadi seorang perfeksionis itu baik? Mungkin pertanyaan ini pernah hadir dalam benak kamu, Ladies.
Kata “perfect” atau “sempurna” dalam bahasa Indonesia sendiri memiliki kesan makna yang cenderung positif. Dibanding mereka yang so-so atau biasa saja, si paling perfect biasanya menjadi pribadi yang banyak dikagumi oleh orang lain, meskipun tak jarang pula yang membencinya.
Mengapa seorang perfeksionis banyak dikagumi orang? Mengapa pula seorang perfeksionis dibenci orang? Untuk menjawabnya, berikut bahasan lebih jauh tentang kelebihan dan kekurangan menjadi seorang perfeksionis.
Sulit Raih Kesuksesan
Kok bisa seorang perfeksionis, yang biasanya identik dengan kerja keras, justru sulit untuk berhasil atau meraih kesuksesan? Jawabannya adalah karena justru sikap dan perilaku yang serba ingin sempurna itu membuat seseorang menjadi lebih lambat dalam menyelesaikan pekerjaannya. Apabila lambat menyelesaikan pekerjaan, tentu potensi kesuksesan pun akan terhambat, minimal tertunda.
Dalam benak seorang perfeksionis hanya ada dua kata “sempurna” atau “tidak sama sekali”. Baginya, tidak ada warna abu-abu, tidak ada toleransi.
Mindset seperti ini sering kali menjadi jebakan bagi seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang telah dibebankan kepadanya. Ia akan fokus pada hal-hal yang sebenarnya masih bisa diperbaiki apabila pekerjaannya telah lebih dahulu selesai. Hal ini karena biasanya seseorang bekerja tidak sendirian, melainkan memiliki tim yang dibagi secara berjenjang.
Bayangkan, apabila seorang penulis novel memiliki kecenderungan perfeksionis. Ia akan berkutat terlalu lama pada proses menyusun konsep atau naskah. Ia juga akan berulang-ulang melakukan self-editing.
Padahal, tiap penulis biasanya memiliki tim editor. Konsep tulisan yang semestinya bisa lebih cepat selesai agar dapat segera masuk tahap editing menjadi lebih lama karena penulis tersebut tak kunjung menyelesaikan draft-nya, akibat terlalu fokus dan sibuk mengedit sendiri.
Mudah Alami Stres dan Gangguan Kecemasan
Elizabeth Scott, seorang psikolog lulusan San Diego State University, mengemukakan bahwa unhealthy perfectionism atau perfeksionisme yang tidak sehat biasanya mengarah pada kecenderungan seseorang untuk terlalu fokus pada bagaimana mengontrol segala hal, baik situasi maupun orang-orang yang terlibat.
Seorang perfeksionis dapat menjadi terlalu pemilih dan bekerja terlalu keras untuk memastikan segala sesuatunya sempurna, tanpa cela atau tanpa kekurangan sedikit pun.
Perilaku yang ingin serba sempurna dapat dengan mudah menyebabkan stres pada seseorang. Lebih parahnya, stres karena perfeksionisme ini dapat menjadi sebab bagi timbulnya gejala-gejala gangguan mental, seperti anxiety (gangguan kecemasan).
Apabila kondisi mental seperti ini dibiarkan, maka seseorang bisa mengalami penurunan self-esteem, gangguan pola makan, kesulitan tidur dan tekanan psikis.
Jadi Public Enemy
Apakah seorang perfeksionis bisa menjadi public enemy atau musuh bersama? Jawabannya bisa “ya”, bisa pula “tidak”, tergantung kadar perfeksionisme dan bagaimana lingkungannya merespons.
Pada dasarnya, seorang perfeksionis berpotensi menjadi seorang pemimpin karena kualitas diri yang tinggi. Ia senantiasa menginginkan kesempurnaan, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan dimana ia berada.
Dalam dunia kerja, sikap perfeksionis bisa jadi baik, karena dengan menuntut kesempurnaan, biasanya seseorang akan menjadi pekerja keras. Ia senantiasa disetir oleh hasratnya sendiri untuk mencapai target-target yang ditetapkan manajemen. Namun demikian, bagaimana jadinya apabila kegigihannya tersebut justru membuat tim atau rekan-rekannya tidak nyaman?
Bayangkan bila Ladies berada dalam tim yang pimpinannya sangat menuntut kesempurnaan. Tiap kali menyusun laporan bulanan departemen, bahkan pada hal-hal kecil seperti kurang satu atau dua tanda baca, sang pimpinan akan terus menegur dan meminta Ladies untuk memperbaikinya. Apakah Ladies nyaman terus-menerus dikritik ketika bekerja?
Sering mendapat kritik hanya pada hal-hal sepele tentu bisa menyebabkan ketidaknyamanan tersendiri. Parahnya, hal ini bisa mengurangi self-esteem, yang pada akhirnya akan membuat orang yang dikritik merasa insecure. Inilah yang menjadi alasan mengapa seorang perfeksionis kerap menjadi musuh bersama dalam tim.
Bisa Diandalkan
Tak melulu negatif, menjadi seorang perfeksionis juga memiliki sisi positif, antara lain dapat diandalkan. Bekerja sama dengan orang berkarakter seperti ini akan jauh lebih ringan apabila ia bersama dukungan timnya dapat mengatur kadar yang tepat kapan harus mengutamakan kesempurnaan, kapan perlu sedikit kelonggaran.
Mengambil contoh hubungan profesional seorang penulis novel dengan editor sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, bekerja sama dengan penulis yang cenderung perfeksionis, pada saat-saat tertentu dapat meringankan pekerjaan sang editor.
Apabila penulis lain banyak melakukan kesalahan yang tidak perlu, seperti salah penggunaan tanda baca, ejaan yang tidak mengikuti kaidah resmi sesuai aturan KBBI atau sering kali typo, penulis yang perfeksionis sangat mungkin tidak lagi berkutat pada kesalahan-kesalahan mendasar seperti itu. Hal ini tentu sangat meringankan pekerjaan tim editor.
Meskipun baik, seseorang hendaknya perlu berhati-hati. Jangan terjebak pada kesempurnaan sehingga melupakan tenggat waktu dan energi yang banyak terbuang sia-sia yang bisa berujung pada kelelahan fisik dan mental.
Meski masalah typo, ejaan atau penempatan tanda baca merupakan hal yang basic bagi seorang penulis profesional, sesekali melakukan ketidaksengajaan terkait hal itu tentu masih manusiawi. Biarkan tim editor menjalankan perannya agar beban terbagi. Dengan berbagi beban kerja seperti itu, harapannya karya berupa tulisan atau output apapun yang ditargetkan dapat segera selesai.
Kurang Bisa Menikmati Hidup
Selain lebih mudah terjebak stres dan cemas, seorang perfeksionis juga cenderung sulit menikmati hidup. Hal ini terjadi karena ia sering kali memandang sesuatu secara serius, tidak santai, dan mudah mengkritik, baik pada orang lain maupun diri sendiri.
Dalam sebuah tim, biasanya sang perfeksionis lebih fokus pada pencapaian target. Ia akan menganggap sebuah proyek berhasil apabila seluruh targetnya tercapai.
Ketika ada yang kurang berhasil, ia cenderung menganggap seluruh aspek gagal. Menurut Scott, dalam diri seorang perfeksionis tersimpan apa yang ia sebut “all-or-nothing thinking”. Jadi, si paling perfect ini tidak dapat menerima sesuatu yang kurang dari apa yang ia nilai sempurna.
Padahal, apabila seseorang mau sedikit saja mengendurkan otot-otot di kepalanya dan mencoba mengalihkan sebagian fokusnya pada sisi-sisi yang menyenangkan ketika sedang menjalankan proyek, maka hidup seorang perfeksionis akan jauh lebih berwarna dan membahagiakan.
Lantas, bagaimana kamu menjaga keseimbangan hidup agar tak terjebak dalam unhealthy perfectionism atau perfeksionisme yang tidak sehat, Ladies?