Industri fashion pun termasuk industri penghasil polusi terbesar di dunia yang menyumbangkan 10% dari emisi karbon global yang merusak Bumi. Dibutuhkan 2.700 liter air untuk memproduksi satu buah T-shirt, jumlah yang sama dengan rata-rata air minum yang dikonsumsi seseorang selama 900 hari. Setiap tahun, lebih dari 80 juta pakaian diproduksi di seluruh dunia dan industri fashion secara keseluruhan menjadi sumber polusi terbesar di dunia setelah industri minyak.
Kerap disebut sebagai eco friendly fashion, label-label yang berjuang merevolusi industri mode dengan bahan-bahan sustainable, pemberdayaan masyarakat, dan kode etik untuk meminimalkan efek negatif pada lingkungan muncul di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Berikut adalah profil label mode ramah lingkungan yang harus kamu kenal.
Sejauh Mata Memandang
Brand fashion yang didirikan oleh Chitra Subyakto ini membuktikan cinta bumi lewat pemilihan material yang digunakan. Selain itu, brand ini juga mengutamakan kesejahteraan para pengrajin, sampai usaha brand ini untuk mengurangi limbah. Sejauh Mata Memandang menggunakan Tencel, yaitu serat pakaian alternatif berbasis selulosa yang mudah terurai. Selain itu, brand yang menjual baju, celana dan aksesoris ini juga membuktikan kepedulian mereka terhadap lingkungan melalui berbagai eksibisi yang mereka gelar salah satunya ‘Laut Kita Masa Depan Kita’ sampai tanggal 2 Februari mendatang. Eksibisi ini ingin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu perubahan iklim dan kerusakan yang telah terjadi di Indonesia agar ekosistem laut tetap terjaga. Oh ya, kalo kamu ngeh, scarf yang dipake Dian Sastro di film AADC 2 itu koleksinya Sejauh Mata Memandang lho!
Lanivatti
Brand fashion yang berfokus pada travel attire ini berawal dari kegelisahan sang pendiri, Nicoline Patricia Malina yang tidak bisa menemukan pilihan brand travel attire yang nyaman, fashionable dan fungsional. Dari sini lah Nicoline memiliki ide untuk menciptakan brand fashion untuk para traveler yang gak cuma stylish dan nyaman, tapi juga bersifat sustainable dan ramah lingkungan. Kepedulian Nicoline terhadap menumpuknya sampah tekstil dan pakaian yang tidak lagi terpakai sampai buruknya kondisi kesejahteraan pekerja industri fashion jadi concern Nicoline membuat brand fashion yang sustainable. Nicoline menjamin kalo 90% bahan pakaian Lanivatti menggunakan bahan yang biodegradable atau dapat terurai, seperti Tencel. Oh ya, pembuatan bajunya juga dikerjakan secara teliti, jadi produknya juga bisa bertahan lama dan bisa digunakan bertahun-tahun mendatang.
Rupahaus
Rupahaus berdiri dari kepedulian Founder & Creative Director, Stephanie Chandra atas kekayaan tekstil Indonesia yang kehilangan jati dirinya karena proses produksinya yang tradisional digantikan dengan mesin yang berbahaya bagi lingkungan. Belum lagi menjamurnya fast fashion yang berpengaruh terhadap pengrajin tekstil yang beralih menjadi buruh industri. Nah, karena itu lah Rupahaus hadir sebagai brand yang mengusung sustainable fashion untuk menjaga lingkungan dan mempertahankan warisan tradisi. Rupahaus yang merupakan kolaborasi antara tim desain yang berbasis di Australia dan pengrajin tekstil di desa-desa kecil Indonesia hadir dengan memadukan tradisi desain leisure wear yang chic dengan proses handmade dan bahan natural yang gak merusak lingkungan. Oh ya, sebagian profit yang didapat juga diinvestasikan kembali pada komunitas pengrajin desa lho.
Cinta Bumi Artisans
Brand yang berdiri di tahun 2015 ini berawal dari fieldwork sang Founding Artist, Novieta Tourisia selama dua tahun terkait budaya di Poso. Ia menemukan fakta bahwa budaya dan tradisi pembuatan barkcloth atau ranta (sebutan untuk kulit kayu dalam bahasa lokal di Lembah Bada) yang berusia ratusan tahun hampir punah karena berkurangnya pengrajin yang diakibatkan berbagai faktor. Dari kepedulian akan budaya itu lah, Cinta Bumi Artisans hadir yang bekerjasama dengan 29 pengrajin dan penenun di Bali yang menghasilkan produk ramah lingkungan. Cinta Bumi Artisans menggunakan material kulit kayu yang berasal dari Lembah Bada dan kain serta serat alami yang dihasilkan melalui proses yang etis dan pewarnaan alami, sehingga gak akan merusak lingkungan. Bahkan, banyak Negara yang tertarik dengan konsep sustainable fashion yang diusung brand ini, seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Singapura.
Osem
Brand fashion yang berdiri di tahun 2014 ini mengusung seni melipat, mengikat dan mewarnai kain atau jumputan. Osem yang dibentuk oleh lima orang sahabat berlatar jurusan Arsitek dan Arsitek Interior UI ini dari awal emang hanya ingin bermain dengan warna biru yang dihasilkan dari pewarna alam dari tumbuhan Indigofera Tinctoria, yang juga ngebuat produk Osem jadi lebih ramah lingkungan dan sosial. Selain itu, mereka juga menggunakan kain yang berasal dari serat alam, kayak katun, linen, rami dan serat alam lainnya. Gak hanya itu, mereka juga punya prinsip less/zero-waste, jadi kalo ada sisa bahan akan dijadikan produk yang lebih kecil atau bekerja sama dengan label lain yang bisa meng-upcycle sisa kain tersebut. Osem juga mengurangi limbah dengan gak menggunakan resleting dan kancing berbahan plastik. Kerennya lagi, sebagai bagian sustainable fashion, Osem juga mengedepankan fair trade, yang artinya Osem membayar upah pekerja sesuai dengan standar kondisi kerja yang baik.
Sumber Foto Utama: Freepik.com