Ladiestory.id - Jelang Hari Bahasa Isyarat Internasional, program “FeminisThemis Academy 2024” dari FeminisThemis, yang didukung oleh Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia dan Unilever Indonesia tuntaskan puncak rangkaian workshop di kota Malang. Selama tiga bulan program berjalan, lebih dari 150 teman Tuli mendapatkan edukasi tentang hak perempuan Tuli untuk hidup lebih aman, adil, dan setara melalui pengetahuan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Hari Bahasa Isyarat Internasional diperingati setiap tanggal 23 September untuk mendorong hak-hak asasi individu Tuli, identitas bahasa dan keragaman kultural komunitas Tuli, serta pentingnya platform bagi individu Tuli untuk menyampaikan gagasan mereka. Karena hak untuk ber-Bahasa Isyarat tidak terpenuhi, berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi masih kerap dialami oleh para individu Tuli, khususnya perempuan Tuli.
Pada diskriminasi gender, Yayasan SAPDA melalui CATAHU Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas (KBGD) melaporkan 81 KBGD di sepanjang tahun 2022. Perempuan Tuli adalah penyintas terbanyak, yaitu 31 kasus, disusul penyandang disabilitas mental sebanyak 22 kasus.
“Secara hukum, perempuan dengan disabilitas berhak mendapatkan perlindungan yang lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Namun nyatanya, mereka memiliki kerentanan berlapis pada kekerasan serta diskriminasi. Tugas dan fungsi KND RI adalah terus melakukan pemantauan, evaluasi, dan advokasi terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia termasuk hak para perempuan Tuli untuk mendapatkan hak edukasi kesehatan seksual dan reproduksi. Tentunya upaya ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk komunitas seperti FeminisThemis dan pelaku usaha seperti Unilever Indonesia," ujar Dr. Rachmita Maun Harahap, S.T., M.Sn, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas RI (KND RI).
Hal ini sejalan dengan misi komunitas FeminisThemis untuk menciptakan komunitas feminis yang inklusif dan edukatif bagi individu Tuli untuk melawan ketidakadilan serta memperjuangkan keadilan gender. Salah satu programnya, yaitu “FeminisThemis Academy”, menyediakan akses berupa forum edukasi mengenai kekerasan seksual, kesetaraan gender, dan dunia Tuli. Tujuan utama dari program ini adalah untuk meningkatkan literasi kesadaran diri dan keadilan gender guna mencegah kekerasan seksual pada perempuan Tuli.
“Hari Bahasa Isyarat Internasional ini jadi momentum yang baik untuk menguatkan komitmen semua pihak dalam mewujudkan dunia yang lebih adil, beragam, dan inklusif. Kami harap kolaborasi ini mampu mengangkat urgensi tentang pentingnya bagi lebih banyak pelaku usaha untuk menempatkan penyandang disabilitas sebagai bagian dari masyarakat yang sepatutnya mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil dan setara," papar Kristy Nelwan, Head of Communication sekaligus Chair of Equity, Diversity & Inclusion Board Unilever Indonesia selaku kolaborator dalam program ini.
Kristy menjelaskan bahwa Unilever Indonesia memiliki tiga fokus Equity, Diversity & Inclusion yang sangat sejalan dengan program ”FeminisThemis Academy”, yaitu Keadilan Gender: memberikan kesempatan yang sama, perlakuan adil, dan support yang sesuai dengan kebutuhan unik dari tiap perempuan; Keadilan untuk Penyandang Disabilitas: menciptakan masyarakat yang ramah disabilitas dan membuka peluang yang adil untuk membuktikan kemampuan mereka tanpa keraguan, serta Penghapusan Diskriminasi dan Stigma: menghormati hak asasi manusia dan memberikan kesempatan yang adil bagi semua orang dengan melawan berbagai bentuk diskriminasi dan stigma.
Nissi Taruli Felicia Co-Founder dan Direktur Eksekutif FeminisThemis menyampaikan, program ‘FeminisThemis Academy 2024’ telah berlangsung selama Juli-September secara hybrid, terdiri dari Training of Trainers untuk fasilitator Tuli, workshop offline di tiga kota yaitu Bandung, Yogyakarta, dan berakhir di Malang, serta rangkaian webinar.
"Selama program berjalan, kami menemukan banyak insight menarik dari para peserta seputar tantangan yang dihadapi perempuan Tuli untuk mendapatkan keadilan gender, khususnya di kota Bandung dan Yogyakarta," jelasnya.
Tiga tantangan utama yang ditemukan:
-
Tidak terpenuhinya hak Bahasa Isyarat: Bahasa Isyarat belum diajarkan sejak dini di ruang lingkup keluarga, terutama di tengah keluarga Dengar. Bahkan di kebanyakan Sekolah Luar Biasa, anak Tuli masih diajarkan untuk membaca bibir dan didorong untuk belajar layaknya orang Dengar. Akhirnya, banyak perempuan Tuli tidak menguasai Bahasa Isyarat, yang seharusnya menjadi hak mereka untuk dapat berkomunikasi maupun mendapatkan informasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
-
Keterbatasan pengetahuan dan akses informasi, terutama yang bersifat pribadi mengenai hak tubuh, hak kesehatan seksual, dan reproduksi: Karena mayoritas masyarakat belum memahami dunia Tuli dan Bahasa Isyarat, mereka tidak bisa memberikan akses komunikasi dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan perempuan Tuli. Selain itu, materi edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi, bahkan di sekolah Dengar sekalipun, masih terbilang minim. Yang diajarkan baru sebatas materi biologi, misalnya tentang organ tubuh dan pembuahan. Topik penting seperti kebersihan organ reproduksi, hak tubuh, pencegahan dan dampak aktivitas seksual, masih dianggap tabu.
-
Kecenderungan victim blaming: Karena pengetahuan yang minim mengenai hak tubuh, banyak masyarakat, bahkan di antara individu Tuli sekalipun, masih menyalahkan pihak penyintas saat mereka melaporkan kekerasan seksual.
Sejalan dengan temuan tersebut, program ”FeminisThemis Academy 2024” berbagi pengetahuan berdasarkan enam pilar: (1) Pengenalan sistem reproduksi dan anatomi tubuh, (2) Pemahaman mengenai pubertas, (3) Edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi, (4) Hak persetujuan dan batasan tubuh (consent), (5) Risiko di dunia digital, hingga (6) Pertolongan pertama secara psikologis untuk memulihkan trauma yang mungkin dirasakan.
Rangkaian program “FeminisThemis Academy 2024” di Bandung dan Yogyakarta maupun webinar telah memberi manfaat ke lebih dari 150 teman Tuli. Uniknya, kegiatan ini diikuti pula oleh peserta laki-laki Tuli, mencerminkan kebutuhan yang setara untuk memahami materi yang disajikan. Bagi para peserta – bahkan yang sudah menikah atau berusia dewasa sekalipun, pengetahuan yang seringkali dianggap sederhana seperti organ reproduksi, pubertas, persetujuan atau consent, serta hak kesehatan seksual dan reproduksi ternyata menjadi topik baru yang patut didiskusikan karena masih sangat jarang diangkat.
Kota Malang menjadi puncak rangkaian workshop offline ”Feminis Themis Academy 2024”, pada tanggal 20-22 September 2024, diikuti oleh 40 peserta. Kota ini dipilih karena merupakan kota ramah disabilitas, dibuktikan dengan memiliki Peraturan Daerah, minimnya praktik diskriminasi, dan tersedianya berbagai layanan fasilitas publik yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Kedepannya, ‘FeminisThemis Academy’ akan merangkul lebih banyak peserta hingga ke level akar rumput untuk mengedukasi lebih banyak orang mengenai kesehatan seksual dan reproduksi,” tutup Nissi.