Ladiestory.id - Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja. Untuk itu, pemerintah Indonesia dan Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan peraturan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.
Kementerian Agama (Kemenag) baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di bawah Kementerian Agama. Aturan ini diundangkan pada 6 Oktober 2022.
PMA mengatur tentang upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di seluruh lembaga pendidikan di bawah lingkup Kementerian Agama, baik yang bersifat formal maupun informal.
Aturan ini juga mencakup tentang pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. Pelaku kekerasan seksual juga terancam hukuman pidana berdasarkan PMA ini.
Jenis Kekerasan Seksual Menurut Kemenag
Bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam PMA ini mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Adapun Kemenag mengklasifikasi bentuk kekerasan seksual menjadi 16 jenis, termasuk menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.
Berikut 16 bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang dirilis Kemenag:
- Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan secara fisik kondisi tubuh atau identitas gender.
- Menyampaikan ucapan seperti berupa rayuan, lelucon, dan siulan yang bernuansa seksual.
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
- Menatap tanpa izin dengan nuansa seksual atau tidak nyaman.
- Mengintip atau dengan sengaja melihat seseorang yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi atau pada ruang yang bersifat pribadi.
- Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh seseorang yang disebut korban.
- Melakukan percobaan pemerkosaan.
- Melakukan pemerkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
- Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.
- Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
- Membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
- Memberikan hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
- Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
- Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio, dan/atau visual korban yang bernuansa seksual.
- Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan.
Jenis Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS
Sebelumnya, pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei lalu. Secara keseluruhan, ada 19 jenis kekerasan seksual yang tertuang dalam UU TPKS.
Namun, dari jumlah tersebut hanya sembilan jenis kekerasan seksual yang terdapat aturan pidana. Tertuang dalam Pasal 4 Ayat (1), berikut jenis kekerasan seksual yang diatur pidananya dalam UU TPKS:
- Pelecehan seksual nonfisik,
- Pelecehan seksual fisik,
- Pemaksaan kontrasepsi,
- Pemaksaan setrilisasi,
- Pemaksaan perkawinan,
- Penyiksaan seksual,
- Eksploitasi seksual,
- Perbudakan seksual,
- Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Sementara itu, UU TPKS juga mencantumkan 10 jenis kekerasan seksual lainnya, tapi tidak diatur hukum pidananya, yaitu:
- Perkosaan,
- Perbuatan cabul,
- Persetubuhan terhadap anak,
- Perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak,
- Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual,
- Pemaksaan pelacuran,
- Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual,
- Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga,
- Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
- Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Willy Aditya, mengungkapkan bahwa RUU TPKS memiliki keunggulan, salah satunya ialah keberadaan hukum acara. Hukum acara tersebut digunakan untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang ketentuan pidananya tak diatur di RUU tersebut
"Yang menjadi keunggulan dari RUU TPKS ini adalah dia punya hukum acara sendiri. Jadi, jenis-jenis KS (kekerasan seksual) yang tidak termaktub di dalam TPKS ini secara eksplisit, dia bisa merujuk ke sini," ujar Willy, dikutip dari berbagai sumber.