Indra Kenz dan Doni Salmanan digadang-gadang merupakan sosok ‘crazy rich’ di usia yang masih muda. Mereka pun sempat diidolakan banyak generasi muda di Indonesia lantaran kerap pamer harta dan barang mewah.
Pamer harta atau flexing yang dilakukan para tokoh publik ternyata memiliki sisi gelap. Lantas, apa itu flexing? Apa kaitannya budaya flexing dan branding?
Apa Itu Flexing?
Melansir situs Urban Dictionary, flexing adalah perilaku senang memamerkan apapun yang menjadi kebangaan Kamu kepada orang lain, karena Kamu ingin mendapatkan perhatian mereka.
Budaya pamer ini tidak hanya untuk memamerkan produk dari brand-brand tertentu. Kamu bisa juga pamer tempat bekerja, almamater, sampai dengan dengan pamer akan penghargaan yang didapatkan dengan susah payah.
Budaya flexing ini bukanlah budaya yang baru di masyarakat. Hanya saja, namanya mungkin berbeda. Budaya flexing memang menjadi perilaku yang terkesan ‘normal’ namun begitu racun.
Budaya ini pun semakin kental ada di masyarakat, terutama pada generasi Z dan Millenial. Hal iini dikarenakan adanya kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi yang menyediakan medium bagi generasi mereka untuk ‘pamer’ dan ‘unjuk keunggulan’ yang mereka miliki, baik itu barang ataupun keahlian.
Perilaku ini sempat dinormalisasi’ menjadi bagian dari informasi yang masyarakat konsumsi di media sosial.
Budaya Flexing dan Branding
Menurut para akademisi yang fokus penelitiannya di di bidang perilaku konsumen, budaya flexing berakar kepada fenomena yang terjadi di era revolusi pada akhir 1899. Seorang ahli sosiologi dan ekonom bernama Throstein Veblen mempublikasikan karyanya berjudul “Theory of the Leisure Class”, yang merupakan kritik kepada budaya konsumerisme masyarakat Amerika pada zaman itu.
Di dalam karya inilah Veblen memperkenalkan konsep bernama ‘Conspicuous Marketing’. Konsep conspicuous marketing ini menjelaskan kenapa beberapa konsumen akan memilih brand dengan nilai status sosial yang tinggi. Memamerkan produk yang dikonsumsi dan memperlihatkan bahwa konsumen berada di kelas sosial tertentu adalah produk dari conspicuous marketing.
Selain itu menurut saya sendiri, budaya flexing ini pun dipengaruhi oleh nilai materialisme, yang semakin dijunjung tinggi di generasi muda sekarang ini. Masyarakat kini cenderung menempatkan kepemilikan akan suatu barang atau penghargaan menjadi tolok ukur penilaian seseorang terhadap orang lain.
Pola pikir materialisme ini kemudian mendorong masyarakat untuk berpikir bahwa mereka yang memiliki banyak kepemilikan, baik itu uang, saham, NFT, mobil, rumah, dan bahkan gelar pendidikan dari universitas ternama, adalah yang lebih bahagia, dibandingkan mereka yang tidak memiliki atau memiliki tapi tidak sebanyak itu.
Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa pola pikir materialisme ini mendorong masyarakat untuk menilai seseorang berdasarkan kuantitas dan kualitas barang-barang yang mereka miliki (Ahuvia, 1992; Richins dan Dawson, 1992; Veer dan Shankar, 2011).
Flexing Menjadi Teknik Pemasaran
Di dunia pemasaran sendiri, banyak pemasar yang sengaja memanfaatkan budaya flexing dan menjadikannya sebagai salah satu teknik pemasaran untuk produk dan jasa yang mereka tawarkan.
Beberapa penelitian merangkum brand-brand di industri pakaian, kosmetik dan produk kecantikan untuk perempuan, dan mobil, kerap kali melakukan praktik ‘flexing marketing’ untuk menarik perhatian konsumennya (O’Cass dan Frost, 2002; Chao dan Schor, 1998; Amaldoss dan Jain, 2005; Shukla, 2008; Shukla, Shukla, dan Sharma, 2009).
Teknik flexing marketing merliputi promosi dengan narasi yang mengatakan bahwa produk mereka mewah, mengkaitkan produk dengan inovasi dan teknologi yang mutakhir, mempromosikan produk yang ‘limited edition’, hingga menarik perhatian konsumen dengan teknik ‘kelangkaan’. Contohnya brand Supreme dan Tesla.
Bahkan merek ternama sekalipun membuat brand-nya menikmati budaya flexing ini. Contohnya semakin besar logo ‘mercedes’ di desain mobil Mercedes terbaru.
Tentu saja, tidak jarang brand-brand ini menikmati keuntungan dari cara mereka dengan flexing marketing ini. Terutama ketika mereka terbantu dengan para influencers dan public figure di media sosial, yang dengan senang hati memamerkan produk dan jasa dari sebuah brand, bahkan ketika tidak diminta.
Hal ini karena brand tertentu bisa menimbulkan asosiasi bahwa mereka memiliki status dan berada pada kelas sosial yang tinggi. Walau terkadang semua itu hanya sebuah ‘asosiasi’, tidak pada kenyataannya.
Kenyataannya, semua kemewahan dan flexing yang kerap dilakukan akhirnya menimbulkan pertanyaan. Apakah benar kekayaan sebanyak itu bisa digapai dalam waktu yang singkat.
Akhirnya masyarakat kita ditolong oleh adanya kecurigaan dan rasa tidak percaya. Penghargaan atas kerja keras dan kerja jujur masih menjadi budaya yang menyelamatkan beberapa dari kita yang tidak ikut terlena dan ikut ke dalam budaya flexing ini.
Lalu kepada pemilik brand dan pengelola brand, menjadi sebuah pertanyaan yang menyentuh moral. Apakah brand yang kita bangun memerlukan teknik flexing marketing dan memanfaatkan budaya flexing? Menurtmu perlukah budaya flexing dan teknik flexing marketing ini kita manfaatkan?