Ladiestory.id - Baru-baru ini banyak berseliweran di lini masa social media, baik itu di Twitter, Instagram atau bahkan di Facebook pemberitaan tentang dua orang public figure.
Kasus yang Melibatkan Public Figure
Public figure yang satu adalah seorang influencer dari Indonesia yang diduga melakukan kesalahan berkaitan dengan perihal tidak mengikuti proses karantina seperti yang diwajibkan oleh pemerintah bagi mereka yang kembali ke Indonesia setelah bepergian dari luar negeri.
Di lain cerita, ada satu lagi public figure dari Korea Selatan yang dikabarkan telah melakukan hal yang tidak baik di masa lalu, berkaitan dengan hubungannya dan seseorang yang mengaku menjadi mantan pacarnya.
Kejadian ini lalu mengagetkan banyak orang yang merupakan penggemar dari public figure yang dikabarkan miring tersebut. Penggemarnya yang berada tidak hanya di Korea Selatan. Tetapi juga berada di Indonesia dan di beberapa belahan dunia lainnya.
Sebuah Kasus Dapat Memengaruhi Citra Brand
Kedua kasus ini ternyata berpengaruh negatif terhadap citra yang telah dibangun dengan susah payah oleh kedua personal brands ini. Salah satu kerugian yang dialami sosok influencer yang saya sebutkan sebelumnya adalah menurunnya jumlah followers di Instagram, diberikan sanksi sosial yang dituangkan dalam bentuk komentar-komentar negatif di beberapa social media, sampai dengan ditegur oleh beberapa public figure lainnya atas aksi yang ia lakukan.
Sedangkan untuk public figure asal Korea Selatan, kerugian finansial seperti kemungkinan hilangnya kesempatan menjadi brand ambassador atau banyaknya hujatan serta permintaan masyarakat Korea Selatan untuk dia diberhentikan dari salah satu acara reality show yang cukup terkenal di Korea-Selatan.
Bagi kebanyakan orang kedua kasus ini hanya dijadikan sebagai bahan obrolan atau gossip belaka. Nah, Saya sekarang hendak mengajak anda untuk belajar dari kisah pahit yang sedang dialami oleh kedua public figure ini. Kedua public figure ini dihadapkan oleh sebuah budaya bernama ‘cancel culture’.
Pengertian Cancel Culture
Cancel culture adalah adalah bentuk hukuman sosial dari seseorang, dengan tidak memberikan dukungan dalam bentuk apapun, atau memberikan penolakan kepada pihak yang dinilai telah melakukan atau menyatakan sesuatu yang ofensif. Banyak contoh tindakan yang membuat seseorang di ‘cancel’ adalah tindakan yang menyinggung SARA.
Siapapun Bisa Berhadapan dengan Cancel Culture
Cancel culture ini merupakan ‘budaya’ yang sering ditemui di internet, terutama pada Twitter (Kusumapradja, 2020; Safira; 2020; Fletcher, 2019; Pathak, 2019). Hampir semua jenis brand, dari personal brand sampai skala makro seperti nation brand bisa berhadapan dengan cancel culture.
Salah satu contoh cancel culture datang dari brand susu oat bernama ‘Oatly’. Seperti ditulis oleh Rebeca Steward dalam website thedrum.com, ketika brand Oatly hendak diboikot oleh para konsumen dan calon konsumen mereka, brand ini masih bersikeras untuk tidak minta maaf.
Sebagai brand yang mencitrakan dirinya sebagai brand yang ramah lingkungan, brand ini membuat banyak orang kecewa ketika mereka harus menerima investasi dari sebuah brand yang dianggap bertentangan dengan nilai dari brand Oatly.
Brand Oatly lebih memilih untuk memberikan penjelasan kenapa mereka harus menerima investasi sebesar 200 juta dolar AS dari perusahaan Blackstone. Perusahaan yang ternyata menjadi bagian dari penggundulan hutan Amazon.
Tapi apakah Oatly melakukan hal yang tepat? Apakah menjelaskan saja cukup menjadi cara untuk berhadapan dengan cancel culture? Lalu apa sebenarnya yang pemilik brand atau pengelola brand baiknya lakukan, ketika mereka berhadapan dengan cancel culture ini?
Hal yang Bisa Dilakukan Saat Berhadapan dengan Cancel Culture
Menurut William Comcowich selaku CEO dari CyberAert LLC di penjelasannya yang ditulis di Glen.info di 5 Oktober 2020 yang lalu, terdapat lima hal yang bisa dilakukan sebuah brand dalam berhadapan dengan cancel culture ini.
1. Mendengarkan dan Memantau Kondisi
Pertama-tama, brand harus bisa mendengarkan dan memantau kondisi yang terjadi. Membuka hati, telinga dan pikiran untuk kemudian berempati dengan mereka yang dirugikan dari kasus yang menimpa brand kita.
2. Fokus pada Nilai Utama Brand
Poin kedua, anda harus tetap fokus kepada nilai utama dari brand Anda. Dalam kondisi seperti ini banyak brand menjadi panik. Ketakutan kehilangan konsumen menjadikan mereka kalang-kabut. Membuat banyak brand terlupa akan nilai-nilai utama yang mereka coba sampaikan kepada konsumen.
3. Ketahui Saat yang Tepat untuk Membela Brand
Poin ketiga, brand harus memiliki kepekaan untuk mengetahui kapan brand bisa melakukan pembelaan terhadap kasus yang membuat brand anda berhadapan dengan cancel culture.
Mohon diingat pembelaan ini tidak harus bersifat agresif. Memberikan penjelasan tentang bagaimana sampai brand anda berhadapan dengan cancel culture juga bisa dipertimbangkan.
Poin ketiga ini mengajarkan kepada kita untuk berpikir dengan kepala dingin dan tidak gegabah dalam bertindak. Apalagi di saat brand kita berhadapan dengan penolakan besar-besaran.
4. Punya ‘Morality Clauses’
Point keempat, brand Anda harus memiliki ‘morality clauses’. Hal ini penting agar di kemudian hari brand anda bisa belajar dari pengalaman untuk tetap sesuai dengan nilai-nilai moral yang berusaha Anda citrakan dari brand anda kepada konsumen.
5. Minta Bantuan Ahli
Poin terakhir ketika brand Anda berhadapan dengan cancel culture, jangan pernah malu untuk mencari bantuan dari para ahli. Bukankah setiap orang tersesat selalu ingin bertanya ke seseorang untuk menanyakan arah dan cara untuk menuju ke tempat yang semula ia tuju?
Maka dari itu ketika brand Anda sudah berhadapan dengan kemungkinan pasar tidak ingin lagi brand Anda hadir, maka tidak ada salahnya untuk mencoba mencari dukungan dari Public Relation atau Advertising Agency.
Jadi, bagi brand yang masih hidup di zona nyaman, dan tidak berencana untuk berhadapan dengan cancel culture, cobalah untuk memiliki pola pikir yang kritis.
Dengan bertanya kepada diri Anda sendiri, orang-orang terdekat, atau orang-orang yang relevan dengan brand Anda, sehingga Anda akan bisa lebih hati-hati dalam bertindak.
Iya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ‘forgive and forget’ atas kesalahan public figure-nya, bukan berarti kita sebagai pemilik ataupun pengelola I jadi aji mumpung malah berlaku semau kita. Bukan berarti juga konsumen Indonesia bisa memaafkan dan melupakan berkali-kali.
Brand yang dibaliknya ada manusia, terkadang brand pun terpeleset melakukan kesalahan. Baik kesalahan yang disengaja atauapun yang tidak disengaja. Kesalahan yang terjadi di masa lalu, ataupun kesalahan yang terjadi saat ini.
Oleh karena itu, bijaklah dalam memperbaiki kesalahan tersebut. Jangan sia-siakan reputasi yang sudah anda bangun dengan begitu susah payah.
Sebelum Anda melakukan apapun coba biasakan bertanya ‘apa ya manfaatnya saya melakukan hal ini?’ dan ‘apakah bila saya melakukan hal ini ada seseorang yang akan terluka karena saya?’. Biasakan berpikir kritis, dan berempati terhadap manusia lain yang akan terlibat dengan brand Anda.
Gilang Kartika dapat dihubungi melalui:
Instagram: @tikagilang