Ladiestory.id - Lima organisasi profesi Dokter: PABI, PERDICI, PERDOSKI, PERGEMI, dan IDAI yang bergabung dalam satu kelompok kerja ahli meluncurkan konsensus Peningkatan Kesadaran dan Pencegahan Medical Adhesive-Related Skin Injury (MARSI). Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kondisi MARSI di Indonesia.
MARSI atau cedera kulit akibat perekat medis/plester nyatanya kerap terjadi, namun belum terdefinisi dan kurang mendapat perhatian khusus dari tenaga kesehatan di Indonesia.
Melihat tantangan kesehatan ini, kelompok kerja ahli ini melakukan inisiatif untuk merumuskan konsensus yang berfokus pada peningkatan kesadaran dan pencegahan terkait MARSI. Kelompok kerja ahli ini terdiri dari dr. Heri Setyanto, Sp.B, FInaCS (PABI), Dr. dr. Erwin Pradian, Sp.An, KIC, KAR, M.Kes (PERDICI); dr. Maylita Sari, Sp.KK, FINSDV (PERDOSKI); Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD- KGer, M.Sc (PERGEMI); dr. Tartila, Sp.A(K) (IDAI).
Konsensus MARSI menekankan beberapa hal penting meliputi definisi MARSI, pengkajian faktor risiko, pengamatan berkala untuk identifikasi dini, memilih perekat medis yang sesuai, teknik melepas dan memasang perekat medis / plester, serta rekomendasi terbaik akan pencegahan MARSI. Hasil konsensus ini merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas perawatan pasien.
MARSI terjadi akibat penggunaan perekat medis / plester yang kurang tepat sehingga berdampak signifikan terhadap keselamatan dan kenyamanan pasien, seperti kerusakan permukaan kulit yang menimbulkan rasa nyeri, infeksi, perluasan luka, dan lambatnya penyembuhan luka.
Dampaknya pun akan lebih parah jika dialami kelompok pasien dengan faktor risiko. Komplikasi MARSI juga memberikan beban finansial tinggi akibat kebutuhan pelayanan tambahan dan perawatan luka yang lebih lama.
Dalam meningkatkan kesadaran dan pencegahan MARSI, Essity Indonesia, perusahaan global di bidang hygiene dan kesehatan mendukung penuh peluncuran konsensus ini.
“Saya sampaikan apresiasi yang tinggi dan mendukung penuh upaya yang dilakukan oleh PABI, PERDICI, PERDOSKI, PERGEMI, IDAI dalam kelompok kerja ahli ini. Konsensus ini merupakan inisiatif baru dan belum pernah ada di Indonesia. Ini menjadi langkah penting dalam merekomendasikan kebijakan dan protokol perawatan luka yang terbaik bagi pasien. Semua upaya ini selaras dengan tujuan kami: Mendobrak hambatan untuk kesejahteraan (Breaking barriers to well-being)," ujar Gustavo Vega, Commercial Director Essity Indonesia dalam sambutannya.
Permasalahan MARSI ini berakar karena sejak awal, MARSI belum didefinisikan dengan baik. Terbukti dari masih banyaknya ditemui kasus luka akibat perekat medis. Dalam praktik sehari-hari, pemilihan perekat medis / plester seringkali tidak melalui pengkajian risiko, sehingga pasien yang memiliki kondisi kulit tertentu bisa saja mengalami infeksi tambahan setelah perawatan.
Protokol yang sesuai mengenai cara memilih, memasang ataupun melepas perekat medis yang menjadi praktik sehari-hari bahkan belum terdapat acuan bakunya.
Pada kesempatan yang sama, dr. Heri Setyanto, Sp.B, FInaCS, perwakilan dari Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (PABI) menjelaskan, konsensus ini dibuat untuk menjadi rekomendasi dalam peningkatan kesadaran dan pencegahan MARSI bagi para tenaga kesehatan, serta dorongan bagi para pemangku kebijakan dan organisasi profesi untuk bersama-sama menjaga integritas kulit termasuk menyediakan alternatif perekat yang aman untuk pencegahan MARSI yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien.
Pada praktiknya, sering ditemui kondisi kulit pasien seperti lecet, melepuh, atau kulit pasien terkelupas ketika plester dilepaskan.
“Tanpa penanganan yang tepat, kondisi kulit tersebut dapat berisiko menimbulkan infeksi atau penyakit lainnya. MARSI sendiri bisa menjadi beban ekonomi tersendiri bagi pasien karena harus mengeluarkan biaya lebih, serta menambah waktu pengobatan. Maka, tenaga kesehatan harus dibekali dengan pengetahuan terkait perekat medis yang sesuai dengan kebutuhan pasien berisiko untuk mencegah MARSI," tambahnya.
MARSI sendiri merupakan kondisi yang menurunkan kualitas hidup pasien. Menurut observasi yang telah dilakukan PABI, 32 dari 36 pasien (88,88%) yang mengalami MARSI merasakan nyeri atau sakit yang mengganggu, dan 6 di antaranya juga mengalami komplikasi infeksi.
Mereka yang memiliki faktor risiko terkena MARSI adalah pasien lanjut usia, pasien pediatrik, pasien ICU, dan pasien yang telah menjalani pembedahan.
“Masih sedikit rumah sakit yang memiliki Standard Operational Procedures (SOP) untuk MARSI. Dengan demikian, jelas bahwa konsensus MARSI ini sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama untuk pasien risiko tinggi,” tambah dr. Heri.
Dr. dr. Erwin Pradian, Sp.An, KIC, KAR, M.Kes, Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) mengatakan, dalam survei sederhana yang dilakukan pada 59 anggota PERDICI ditemukan tipe MARSI tertinggi pada pasien di ICU adalah dermatitis iritan kontak sebanyak 47,3%, dan dermatitis alergi sebanyak 30,9%.
Di ICU, masalah MARSI dan komplikasinya kerap ditemui. Pada jurnal penelitian menemukan bahwa prevalensi MARSI di ICU hingga 42%4.
"Pasien dengan penyakit kritis di ICU rentan terhadap MARSI karena berbagai faktor, di antaranya adalah kondisi umum mereka yang sehari-hari terkena paparan yang tinggi terhadap perekat medis, malnutrisi, ketidakstabilan hemodinamik, disfungsi organ, edema, kelainan kulit,” jelas dr. Erwin.
Dalam proses pengobatan, pasien di ICU biasanya membutuhkan berbagai perangkat medis untuk pemantauan, diagnosis, dan pengobatan. Misalnya kateter urin, enteral, dan vaskular adalah perangkat medis yang paling banyak digunakan, yang memerlukan penggunaan perekat medis / plester, dimana dalam prosesnya selalu diganti secara berkala.
dr. Tartila, Sp.A(K), dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan, kulit anak-anak cenderung masih rentan dan sensitif mengakibatkan berisiko tinggi terkena MARSI.
"Berdasarkan survei singkat Pediatric ICU (PICU) rumah sakit di Indonesia ditemukan MARSI sebesar 12% dari total 77 pasien. Suatu studi menunjukkan bahwa prevalensi MARSI di Pediatric ICU sebesar 23.5-54% akibat penggunaan plester untuk fiksasi selang napas5. Untuk itu, kami menekankan pentingnya perhatian yang cermat oleh tenaga kesehatan pada anak-anak dengan faktor risiko yang teridentifikasi seperti usia, durasi rawat inap yang lama, edema, infeksi, atau pembedahan," paparnya.
Selain pada anak, MARSI juga kerap terjadi pada pasien lanjut usia (lansia). Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, Sp.PD-KGer, M.Sc, perwakilan dari Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) menyatakan, pada dasarnya, hampir seluruh kelompok populasi memiliki risiko untuk terkena MARSI.
"Namun, lansia memiliki risiko yang lebih tinggi lagi karena kondisi kulit menurun pada saat penuaan ditambah lanjut usia umumnya mempunyai banyak penyakit, banyak menggunakan obat-obatan, dengan status gizi yang kurang (malnutrisi). Bagi pasien lansia, MARSI tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan karena rasa nyeri, lamanya waktu penyembuhan luka yang bisa membuat pasien stress, bekas luka, hingga infeksi. Jaringan kulit lansia yang cenderung rapuh karena kehilangan kelembapan dan kekenyalan menjadi faktor risiko tersendiri yang menyebabkan semakin tingginya risiko MARSI," terangnya.
Dr. Kuntjoro menambahkan, ada sebuah studi prevalensi yang dilakukan selama 28 hari, yang menunjukkan bahwa pasien berusia 65-74 tahun dalam perawatan penyakit akut rata-rata mengalami cedera kulit akibat perekat sebesar 21.1%.
Demikian juga studi yang dilakukan di Australia Barat menunjukkan angka prevalensi MARSI mencapai 41% dari total 347 pasien. Studi lain juga menunjukkan bahwa setiap 100 pasien lansia yang menerima perekat medis / plester dalam proses perawatan, akan ada 55 pasien yang membutuhkan perawatan tambahan akibat MARSI.
dr. Maylita Sari, Sp.KK, FINSDV, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) menjelaskan tentang tatalaksana pencegahan MARSI, pencegahan MARSI harus dimulai dari persiapan kulit, pemilihan bahan perekat medis yang sesuai, pemasangan dan pelepasan perekat medis / plester. Hal-hal ini harus dipahami dengan baik dan benar oleh para tenaga kesehatan.
“Pada praktik selama ini, jenis MARSI yang paling sering ditemui yaitu dermatitis kontak iritan, blister, dermatitis kontak alergi, skin stripping, dan skin tear. Salah satu penyebab utamanya adalah pemilihan perekat medis atau plester yang kurang tepat dan kurangnya pengenalan risiko awal pasien dengan kerusakan kulit akibat perekat medis / plester. Karakteristik perekat medis / plester yang perlu dipertimbangkan adalah kekuatan rekat, kelembutan, bahan yang berpori (breathable), dan elastisitas. Pada intinya pemilihan perekat medis harus dapat mengakomodasi kebutuhan tujuan perekat medis / plester, lokasi anatomis, dan kondisi yang terjadi pada kulit,” jelas dr. Sari.
Perekat medis konvensional yang menggunakan perekat karet (rubber) atau perekat akrilat memiliki kekuatan yang semakin meningkat berdasarkan lama pemakaiannya.
“Karena daya rekat yang tinggi dari perekat konvensional menyebabkan dapat terangkatnya lapisan kulit epidermis ketika perekat medis / plester dilepas. Hal ini berpotensi menyebabkan MARSI. Untuk itu diperlukan pilihan perekat medis / plester yang berfungsi dengan baik namun tidak mencederai kulit. Berbeda dengan perekat medis / plester konvensional, perekat medis / plester berbahan perekat silikon tidak masuk ke dalam pori-pori kulit sehingga integritas kulit tetap terjaga ketika dilepaskan dan MARSI dapat dicegah. Pada akhirnya pencegahan MARSI dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi beban ekonomi,” tutur dr. Sari.
Mengingat pentingnya kesadaran dan pencegahan MARSI, diperlukan kerjasama erat antar berbagai pihak terkait. Untuk itu Essity Indonesia memberikan komitmennya dalam mendukung konsesus ini. Joice Simanjutak, Marketing Director Essity mengatakan, seperti yang sudah dijelaskan oleh para dokter, sampai saat ini belum ada konsensus dan protokol yang menjadi acuan utama pencegahan MARSI bagi seluruh dokter di Indonesia.
"Untuk mendukung konsesus ini, kami berkomitmen untuk melakukan edukasi kepada masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terkait risiko dan dampak MARSI, mendukung sosialisasi MARSI kepada tenaga kesehatan, dan menghadirkan inovasi terbaru perekat medis / plester dengan perekat silikon untuk pencegahan MARSI," ujarnya.
Membina komunikasi terbuka antara penyedia layanan kesehatan, tenaga kesehatan dan pasien dapat berkontribusi dalam mengidentifikasi masalah dan mengembangkan solusi untuk mengurangi cedera terkait perekat medis / plester. Memprioritaskan kesejahteraan dan keselamatan pasien adalah hal terpenting dalam setiap aspek layanan kesehatan, termasuk penggunaan perekat medis / plester.